Pahlawan Perempuan Paling Memengaruhi Sejarah Indonesia
Pahlawan Perempuan Paling Memengaruhi Sejarah Indonesia
Di sepanjang sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia ada sederetan
nama-nama pejuang pahlawan wanita yang turut melawan penjajahan Belanda.
Semasa
hidup mereka telah berjuang, baik mengangkat senjata atau pun
perjuangan politik, termasuk melalui pendidikan untuk mencapai
kemerdekaan serta persatuan bangsa Indonesia.
Para pahlawan wanita ini telah berjasa memimpin bangsa Indonesia bersatu melawan penjajah hingga memperoleh kemerdekaan.
Berikut sembilan pahlawan perempuan paling memengaruhi sejarah Indonesia, dikutip dari buku Tokoh-tokoh Fenomenal Paling Mempengaruhi Sejarah Indonesia, yang ditulis oleh Iwan Setiawan.
1. HR. Rasuna Said (1910-1965)
Hadjah Rangkayo Rasuna Said adalah seorang
orator, pejuang kemerdekaan Indonesia. Wanita kelahiran Maninjau
(Sumatera Barat) 15 September 1910 itu berjuang melalui organisasi
Sarekat Rakyat, dan Persatuan Muslim Indonesia. Dia sering mengecam
kekejaman dan ketidakadilan pemerintah Belanda. Dia pernah dipenjara
pada 1932 di Semarang oleh pemerintah Belanda.
Ketika pendudukan
Jepang, Rasuna Said ikut serta mendirikan organisasi pemuda Nippon Raya
di Padang meski, kemudian organisasi ini dibubarkan Pemerintah Jepang.
Setelah kemerdekaan Indonesia, dia aktif sebagai anggota Dewan
Perwakilan Sumatera, dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Serikat, serta Dewan Pertimbangan Agung sampai akhir hayatnya 1965.
2. Kartini (1879-1904)
Raden Adjeng Kartini dikenal sebagai pelopor
kebangkitan perempuan pribumi. Atas persetujuan suaminya, Bupati
Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, wanita kelahiran 21 April 1879 ini
mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks
kantor kabupaten Rembang.
Ia berkeinginan untuk memajukan
perempuan pribumi, di mana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi
berada di status sosial rendah. Semangat kegigihan Kartini diwujudkan
dengan didirikan sekolah wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada
1912, kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan
daerah lainnya.
3. Cut Nyak Dien (1848-1908)
Cut Nyak Dien memulai perlawanan terhadap
penjajahan Belanda setelah kematian suaminya pada 1878, Teuku Cek
Ibrahim Lamnga, dalam pertempuran. Kematian suaminya membuatnya marah
dan bersumpah akan menghancurkan Belanda. Wanita kelahiran 1848 ini
kemudian bersedia menikah dengan Teuku Umar, tokoh perjuangan Aceh,
karena memperbolehkan Cut Nyak Dien berperang.
Cut Nyak Dien dan
Teuku Umar melancarkan perang melawan Belanda secara gerilya. Mereka
berhasil menekan Belanda dan menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan
Meulaboh. Akibatnya Belanda terus menerus mengganti jenderal yang
bertugas.
Bahkan, setelah Teuku Umar gugur tertembak dalam
pertempuran, Cut Nyak Dien memimpin perlawanan terhadap Belanda di
pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Pasukannya terus bertempur
sampai kehancurannya pada 1901 dan Cut Nyak Dien semakin tua. Ia
ditangkap dan dipindahkan ke Sumedang hingga meninggal pada 6 November
1908.
4. Dewi Sartika (1884-1947)
Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi
Sunda, Nyi Raden Raiapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat
istiadat orangtuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah
Belanda. Pada 1904, Dewi membuka Sekolah Istri (sekolah perempuan)
pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya ketika itu tiga orang, ia
dibantu dua saudaranya, Ny Poerwa dan Nyi Oewid.
Murid angkatan
pertamanya terdiri 20 orang dan semakin berkembang. Lulusan pertamanya
lulus pada 1909 membuktikan bahwa perempuan memiliki kemampuan yang
tidak ada bedanya dengan laki-laki. Semangat Dewi memicu bangkitnya
beberapa sekolah Istri di wilayah Pasundan, yang dibangun oleh perempuan
Sunda dengan cita-cita sama dengan Dewi Sartika.
Atas jasanya dalam bidang pendidikan, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh Pemerintah Hindia-Belanda.
5. Martha Christina Tiahahu (1800-1818)
Martha lahir di Nusa Laut, Maluku, pada 4
Januari 1800. Pada waktu mengangkat senjata melawan penjajah Belanda, ia
baru berusia 17 tahun. Ayahnya adalah Kapiten dari negeri Abubu, Paulus
Tiahahu, yang membantu Thomas Matulessy dalam perang Pattimura melawan
Belanda di 1817.
Martha selalu mendampingi ayahnya dalam setiap
pertempuran, baik di pulau Nusalaut maupun Saparua. Dia ikut dalam
pembuatan kubu-kubu pertahanan. Namun, dalam pertempuran di Desa Ouw
Ullat Jasirah Tenggara pulau Saparua, Martha dan ayahnya ditangkap
Belanda karena tipu daya musuh, dan tidak seimbang dalam persenjataan.
Kapiten
Paulus Tiahahu divonis hukuman mati digantung, sedangkan Martha
diasingkan ke Pulau Jawa. Di kapal perang Eversten, Martha menemui
ajalnya pada 2 Januari 1818, di saat dirinya belum genap 18 tahun.
6. Nyai Ahmad Dahlan (1872-1946)
Siti Walidah menikah dengan tokoh pembaru Islam
Indonesia, KH Ahmad Dahlan. Ia selalu mendampingi suaminya mengembangkan
organisasi Muhammadiyah di Banyuwangi. Ia dan suaminya sering mendapat
kecamanan dan ancaman dari mereka yang tidak setuju dengan pembaruan
Islam.
Meski begitu, Nyai Ahmad Dahlan tetap memimpin organisasi
wanita Muhammadiyah, Aisyiyah, pada 1918. Selain dididik soal agama,
para pelajar putri juga dididik soal kemasyarakatan dan ditanamkan rasa
kebangsaan sehingga kaum perempuan bisa ikut berperan aktif dalam
pergerakan nasional.
Beberapa kali, ia memimpin Kongres Aisyiah
di Surabaya. Kepemimpinannya memimpin kongres yang besar membuat kagum
masyarakat. Presiden Soekarno dan Panglima Besar Soedirman sering
mengunjunginya untuk bertukar pikiran mengenai situasi perjuangan.
7. Nyi Ageng Serang (1752-1828)
Terlahir dengan nama Raden Ajeng Kustiyah
Wulaningsih Retno edhi, Nyi Ageng Serang, merupakan putri Pangeran
Natapraja, salah satu panglima perang pasukan Pangeran Mangkubumi ketika
melawan Belanda. Kustiyah ikut memimpin pasukan untuk menahan serbuan
Belanda terhadap daerah Serang.
Ketika perang Dipenogoro meletus,
Kustiyah ikut bergabung dengan pasukan Pangeran Dipenegoro melawan
Belanda. Dengan pasukan Nataprajan, ia bertempur di daerah Serang,
Purwodadi, Kudus, Demak, Juwana, Semarang, dan Rembang.
Ia juga
diangkat menjadi penasihat pasukan Dipenogoro. Meski usianya sudah
lanjut, Kustiyah tetap memimpin pasukannya dari atas tandu. Dia
meninggal dunia di Yogyakarta karena sakit.
8. Fatmawati Soekarno (1923-1980)
Istri Presiden Pertama Republik Indonesia,
Soekarno, ini merupakan tokoh pergerakan kemerdekaan nasional. Fatmawati
yakin Indonesia pasti akan merdeka, karena itu ia menyiapkan bendera
yang dijahitnya sendiri, setelah menerima kain seorang pemuda bernama
Chaerul Basri. Bendera yang dijahit Fatmawati dikibarkan sesaat
proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh Bung Karno.
Sebagai istri,
Fatmawati setia mendampingi Bung Karno menghadapi masa-masa sulit selama
berlangsung perang mempertahankan kemerdekaan. Ia juga membantu
kehidupan para istri prajurit yang ditinggal suaminya bergerilya. Selain
itu ia juga gigih memperjuangkan dokumen, arsip, dan benda-benda RI,
yang dirampas Belanda agar dikembalikan kepada pemerintah Indonesia.
9. Laksamana Malahayati (1550-1615)
Laksamana Malahayati mendapat gelar pahlawan
pada Hari Pahlawan 10 November 2017 oleh Presiden Joko Widodo. Ia adalah
pahlawan wanita yang membentuk pasukan janda prajurit Aceh, yang gugur
dalam peperangan melawan armada Portugis. Lahir bernama Keumalahayati,
ia diangkat sebagai laksamana oleh Sultan Aceh dan memimpin pasukan
Inong Balee, pasukan para janda prajurit Aceh.
Ia dan pasukannya
bertugas melindungi pelabuhan-pelabuhan dagang di Aceh. Bersama
pasukannya Malahayati melawan pasukan kapal Belanda, yang masuk ke salah
satu pelabuhan dagang Aceh Pada 21 Juni 1599. Dalam pertempuran itu
Cornelis de Houtman dan beberapa pelaut Belanda tewas, komandan armada
Belanda, Frederick de Houtman, ditangkap pasukan Aceh.
Tak
hanya ahli di medan perang, Malahayati juga melakukan perundingan damai
mewakili Sultan Aceh dengan pihak Belanda. Hasil perundingan itu,
Frederick de Houtman dilepaskan dengan syarat Belanda harus membayar
ganti rugi kepada Kesultanan Aceh.
0 Response to "Pahlawan Perempuan Paling Memengaruhi Sejarah Indonesia"
Post a Comment