Sejarah Bagansiapiapi

 Assalamualaikum teman-teman. kali ini aku mau cerita tentang kota yang kutinggali. 
yuk dibaca..





   Kota Bagansiapiapi terletak di muara Sungai Rokan, di pesisir utara Kabupaten Rokan Hilir, dan merupakan tempat yang strategis karena berdekatan dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas perdagangan internasional. Kota Bagansiapiapi dijuluki sebagai Hong Kong van Andalas.
Selain sebagai ibu kota Kabupaten Rokan Hilir, Bagansiapiapi juga merupakan ibu kota Kecamatan Bangko.
Bagansiapiapi meraih predikat kota terbersih ke-2 tingkat Provinsi Riau setelah kota Bengkalis tahun 2011. Penyerahan piagam penghargaan diberikan oleh Gubernur Riau H.M.Rusli Zainal bersamaan dengan peringatan Hari Ibu ke-85 pada tanggal 22 Desember 2011 di Pekanbaru.


Asal-usul nama Bagansiapiapi

    Menurut cerita masyarakat Bagansiapiapi secara turun temurun, nama Bagansiapiapi erat kaitannya dengan cerita awal kedatangan orang Tionghoa ke kota itu. Disebutkan bahwa orang Tionghoa yang pertama sekali datang ke Bagansiapiapi berasal dari daerah Songkhla di Thailand. Mereka sebenarnya adalah perantau-perantau Tionghoa yang berasal dari Distrik Tong'an (Tang Ua) di Xiamen, wilayah Provinsi Fujian, Tiongkok Selatan. Konflik yang terjadi antara orang-orang Tionghoa dengan penduduk Songkhla, Thailand kelak menjadi penyebab terdamparnya mereka di Bagansiapiapi.

   Dalam cerita dimaksud disebutkan bahwa pelarian tersebut dilakukan dengan menggunakan tiga perahu kayu (tongkang). Kejadian-kejadian selama dalam perjalanan menyebabkan hanya satu tongkang yang selamat sampai di darat. Itu adalah tongkang yang dipimpin oleh Ang Mie Kui bersama 17 orang penumpang lainnya. Tongkang yang selamat ini kebetulan membawa serta patung Dewa Tai Sun Ong Ya yang diletakkan di bagian haluan dan patung Dewa Ki Hu Ong Ya yang ditempatkan dalam magun/rumah tongkang.
   Menurut keyakinan mereka, patung-patung ini akan memberi keselamatan selama pelayaran itu. Petunjuk akhirnya diberikan oleh sang Dewa, setelah mereka melihat cahaya api yang berkerlap-kerlip dan mereka mengikutinya sampai ke daratan. Di daerah tidak bertuan inilah mereka mendarat dan membangun tempat pemukiman baru yang kemudian dikenal dengan nama Bagansiapiapi. Adapun kata bagan sendiri mengandung makna sebagai tempat, daerah, atau alat penangkap ikan.
   Versi lain mengenai asal usul nama Bagansiapiapi adalah kata Bagan yang berasal dari nama alat atau tempat menangkap ikan (yakni bagan, bagang, atau jermal), sementara api berasal dari nama pohon api-api yang banyak tumbuh di daerah pantai.


  Cahaya terang yang dilihat ke-18 perantau ini pada waktu kehilangan arah adalah cahaya yang dihasilkan oleh kunang-kunang di atas bagan (tempat penampungan ikan di pelabuhan). Sehingga para perantau menamakan daratan tersebut dengan nama Baganapi yang kini dikenal sebagai Bagansiapiapi.
   Mereka inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur orang Tionghoa Bagansiapiapi. Sehingga mayoritas warga Tionghoa Bagansiapiapi kini adalah bermarga Ang atau Hong.
Pada penanggalan Imlek bulan kelima tanggal 16, para perantau menginjakkan kaki di daratan tersebut, mereka menyadari bahwa di sana terdapat banyak ikan laut, dengan penuh sukacita mereka menangkap ikan untuk kebutuhan hidup. Mulailah mereka bertahan hidup di tanah perantauan tersebut.
  Sebagai wujud terima kasih kepada dewa laut Kie Ong Ya, para perantau memutuskan untuk membakar Tongkang yang ditumpangi mereka sebagai sesajen kepada dewa laut.[2].
  Mereka yang merasa menemukan daerah tempat tinggal yang lebih baik segera mengajak sanak-keluarga dari Negeri Tirai Bambu sehingga pendatang Tionghoa semakin banyak. Keahlian menangkap ikan yang dimiliki oleh nelayan tersebut mendorong penangkapan hasil laut yang terus berlimpah. Hasil laut berlimpah tersebut di-ekspor ke berbagai benua lain hingga Bagansiapiapi menjadi penghasil ikan laut terbesar ke-2 di dunia setelah Norwegia.
  Perdagangan di selat Melaka semakin ramai hingga membuat Belanda melirik Bagansiapiapi sebagai salah satu basis kekuatan laut Belanda, yang kemudian oleh Belanda membangun pelabuhan yang di Bagansiapiapi, konon katanya pelabuhan tersebut adalah pelabuhan paling canggih saat itu di selat Melaka.
  Tidak hanya hasil laut yang saat itu menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Bagansiapiapi, tetapi ada juga hasil karet alam yang juga sangat terkenal. Pada masa perang dunia I dan perang dunia IIBagansiapiapi disebut sebagai salah satu daerah penghasil karet berkualitas tinggi yang saat itu banyak sekali dipakai untuk kebutuhan peralatan perang seperti ban dari bahan karet.
   Pengolahan karet alam tersebut dilakukan sendiri oleh masyarakat Bagansiapiapi di beberapa pabrik karet di Bagansiapiapi. Namun setelah perang dunia II selesai, permintaan akan karet semakin menurun hingga beberapa pengusaha menutup pabrik karet tersebut.
  Dari sisi kebudayaan, terdapat sebuah kelenteng tua yang sudah berumur ratusan tahun. Di tempat kelenteng inilah Dewa Kie Ong Ya saat ini disembahyangkan. Dewa Kie Ong Ya yang ada di dalam kelenteng Ing Hok Kiong saat ini adalah patung asli yang dibawa ke-18 perantau pada saat pertama kali menginjak kaki di daratan Bagansiapiapi.

Agama di Bagansiapiapi


    Islam merupakan agama mayoritas yang terutama dipeluk oleh suku Melayu, Jawa, Minangkabau dan Bugis. Suku Tionghoa mayoritas memeluk kepercayaan Tridharma yang merupakan gabungan dari agama BuddhaKonghucu, dan Taoisme, sementara yang menganut agama KristenKatolik dan Islam juga ada meskipun dalam jumlah yang sedikit. Sedangkan suku Batak dan Nias pada umumnya menganut agama Kristen dan Katolik.
   Tempat ibadah yang representatif bagi umat Islam di Bagansiapiapi di antaranya adalah Masjid Raya Al-Ikhlas, Masjid Raya Al-Ihsan, Masjid Al-Kautsar.
  Bagi umat Buddha dan kepercayaan Tridharma terdapat Vihara Buddha Sasana, Vihara Buddha Sakyamuni, Vihara Buddha Kirti, Vihara Maitreya Dwipa, Kelenteng Ing Hok Kiong.
  Untuk umat Katolik terdapat Gereja Katolik Santo Petrus dan Paulus. Sementara untuk umat Kristen terdapat Gereja Methodist Indonesia (GMI-Jemaat Wesley), Gereja HKBP, Gereja Kristen Protestan Indonesia.

Bahasa Bagansiapiapi


   Masyarakat Bagansiapiapi yang lebih dikenal sebagai Orang Bagan, terdiri dari beragam suku di antaranya MelayuBatakJawaMinangTionghoaBugis, dan Nias.
  Letaknya yang jauh dari ibu kota Jakarta, membuat komunitas Tionghoa setempat masih kental menggunakan bahasa daerah tanpa pencampuran dengan bahasa gaul ibu kota. Namun istilah "Bahasa Bagan" sering merujuk pada Bahasa Hokkian yang digunakan oleh masyarakat Tionghoa setempat.
  Bahasa Hokkian Bagansiapiapi masih kental dengan nuansa Tionghoa murni tanpa campuran dengan bahasa Indonesia, sehingga mirip dengan bahasa Hokkian yang dipergunakan di XiamenJinmen (Kim-men), dan Taiwan.
   Dikarenakan sebagian besar leluhur orang Hokkian di Bagansiapiapi berasal dari Distrik Tong'an (Tang Ua) yang dekat dengan Xiamen dan Quanzhou, maka dialek bahasa Hokkian Bagansiapiapi bisa dimasukkan dalam varian campuran antara logat Xiamen dan Quanzhou (Cuanciu). Begitu juga dengan bahasa Hokkian yang dipergunakan di daerah Riau lainnya seperti Selatpanjang dan Bengkalis hampir sama dialeknya, karena kebanyakan leluhurnya berasal dari daerah Nan An (Lam Ua) yang dekat dengan Quanzhou.
   Sementara bahasa Hokkian yang dipergunakan di Medan dan Penang masuk dalam varian logat Zhangzhou (Cianciu).

Sejara ritual Bakar Tongkang di Bagansiapiapi 

   Bermula dari tuntutan kualitas hidup yang lebih baik lagi, sekelompok orang Tionghoa dari Provinsi Fujian - China, merantau menyeberangi lautan dengan kapal kayu sederhana. Dalam kebimbangan kehilangan arah, mereka berdoa ke Dewa Kie Ong Ya yang saat itu ada di kapal tersebut agar kiranya dapat diberikan penuntun arah menuju daratan.
  Tak lama kemudian, pada keheningan malam tiba-tiba mereka melihat adanya cahaya yang samar-samar. Dengan berpikiran di mana ada api disitulah ada daratan dan kehidupan, akhirnya mereka mengikuti arah cahaya tersebut, hingga tibalah mereka di daratan Selat Malaka tersebut.
  Mereka yang mendarat di tanah tersebut sebanyak 18 orang yang kesemuanya bermarga Ang, di antaranya : Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian, Ang Tjie Tui.



     Ritual Bakar Tongkang dikenal juga sebagai Upacara Bakar Tongkang (Hanzi Sederhana : 仪式燃料的驳船 ; Hanyu Pinyin : Yíshì ránliào de bóchuán) atau singkatnya dalam Bahasa Hokkien dikenal sebagai Go Gek Cap Lak (Hanzi Sederhana :五月十六日) adalah sebuah ritual tahunan masyarakat di Bagansiapiapi yang telah terkenal di mancanegara dan masuk dalam kalender visit Indonesia. Setiap tahunnya ritual ini mampu menyedot wisatawan dari negara MalaysiaSingapuraThailandTaiwan hingga Tiongkok Daratan. Kini even tahunan ini gencar dipromosikan oleh pemerintah Kabupaten Rokan Hilir sebagai sumber pariwisata.


Galeri Lainnya di Kota Bagansiapiapi

Masjid agung al-ikhlas


Masjid  Laksmana Muhammad Cheng Hoo

Masjid Al-Ikhsan


Rumah Kapitan Bagansiapiapi


Taman budaya 


0 Response to "Sejarah Bagansiapiapi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel