sejarah film di dunia dan indonesia

SEJARAH FILM DUNIA DAN INDONESIA

Film adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie. Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak.
Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya.
Pengertian film menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu:
  • Selaput yang terbuat dari seluloid untuk tempat negative yang dari situ dibuat potretnya,tempat gambar positif yang akan dibuat di bioskop.
  • Gulungan serangkaian gambar-gambar yang diambil dari objek-objek yang bergerak dan akhirnya proyeksi dari hasil pengambilan gambar tersebut.
  • Cerita yang diputar di bioskop.
Film mempunyai banyak pengertian yang masing-masing artinya dapat dijabarkan secara luas. Film merupakan media komunikasi sosial yang terbentuk dari penggabungan dua indra, penglihatan dan pendengaran, yang mempunyai inti atau tema sebuah cerita yang banyak mengungapkan realita sosial yang terjadi di sekitar lingkungan tempat dimana film itu sendiri tumbuh.
Film sendiri dapat juga berarti sebuah industri, yang mengutamakan eksistensi dan ketertarikan cerita yang dapat mengajak banyak orang terlibat. Film berbeda dengan cerita buku, atau cerita sinetron. Walaupun sama-sama mengangkat nilai esensial dari sebuah cerita, film mempunyai asas sendiri. Selain asas ekonomi bila dilihat dari kacamata industri, asas yang membedakan film dengan cerita lainnya adalah asas sinematografi. Asas sinematografi tidak dapat digabungkan dengan asas-asas lainnya karena asas ini berkaitan dengan pembuatan film. Asas sinematografi berisikan bagaimana tata letak kamera sebagai alat pengambilan gambar, bagaimana tata letak properti dalam film, tata artistik, dan berbagai pengaturan pembuatan film lainnya.
Tahun 1250,  ditemukan sebuah kamera bernama OBSCURA. Tahun 1250-1895, disebut dengan masa pra sejarah film karena itu merupakan masa dimana terdapat penemuan” baru yg disebabkan obsesi” besar orang eropa, contohnya terciptanya sebuah alat yang bisa merekam gerak (yang hingga kini digunakan untuk membuat sebuah film).
Tahun 1895, dikenal sebagai tahun dimana awal adanya sebuah sinema, karena pada tanggal 28 Desember 1895, untuk pertama kalinya dalam sejarah perfilman, sebuah film cerita dipertunjukkan di depan umum. Film ini dibuat oleh Lumiere bersaudara, Lumiere Louis (1864-1948) dan Auguste (1862-1954), inventor terkenal asal Perancis dan pelopor industri perfilman. Tempat pemutaran film itu adalah di Grand Cafe di Boulevard des Capucines, Paris. Sekitar 30 orang datang dengan dibayar untuk menonton film-film pendek yang mempertunjukkan kehidupan warga Perancis.
Sesungguhnya, pada awal 1885, telah diproduksi gambar bergerak pertama namun, film karya Lumiere bersaudara yang dianggap sebagai film sinema yang pertama. Judul film karya mereka adalah “Workers Leaving the Lumiere Factory.” Pemutaran film ini di Grand Cafe menandai lahirnya industri perfilman.
Thomas A. Edison juga menyelenggarakan bioskop di New York pada 23 April 1896. Dan meskipun Max dan Emil Skladanowsky muncul lebih dulu di Berlin pada 1 November 1895, namun pertunjukan Lumiere bersaudara inilah yang diakui kalangan internasional. Kemudian film dan bioskop ini terselenggara pula di Inggris (Februari 1896), Uni Sovyet (Mei 1896), Jepang (1896-1897), Korea (1903) dan di Italia (1905).
Perubahan dalam industri perfilman, jelas nampak pada teknologi yang digunakan. Jika pada awalnya, film berupa gambar hitam putih, bisu dan sangat cepat, kemudian berkembang hingga sesuai dengan sistem pengelihatan mata kita, berwarna dan dengan segala macam efek-efek yang membuat film lebih dramatis dan terlihat lebih nyata.
Isu yang cukup menarik dibicarakan mengenai industri film adalah persaingannya dengan televisi. Untuk menyaingi televisi, film diproduksi dengan layar lebih lebar, waktu putar lebih lama dan biaya yang lebih besar untuk menghasilkan kualitas yang lebih baik.


Menurut Jack Valenti, kekuatan unik yang dimiliki film, adalah:
  1. Sebagai hasil produki sekelompok orang, yang  berpengaruh terhadap hasil film;
  2. Film mempunyai aliran-aliran yang menggambarkan segmentasi dari audiensnya. Seperti: drama, komedi, horor, fiksi ilmiah, action dan sebagainya. Bagi Amerika Serikat, meski film-film yang diproduksi berlatar belakang budaya sana, namun film-film tersebut merupakan ladang ekspor yang memberikan keuntungan cukup besar.
Hal lainnya adalah soal konglomerasi dalam industri ini, dimana konglomerat besar industri film dunia mempunyai kontrol terhadap pendistribusian film ke bioskop, video, stasiun Televisi kabel dan stasiun televisi sampai luar negeri. Hal tersebut berimplikasi yang membuat pemain baru tidak bisa masuk.
Hampir sama dengan industri musik dan rekaman, pelanggaran hak atas kekayaan intelektual juga menghantui industri perfilman. Meski dalam setiap film produksi AS terhadap peringatan dari FBI, namun pembajakan film tetap saja tidak bisa diremehkan begitu saja.
Sejarah film baru dimulai dan baru sedikit orang yang bekerja di sini sehingga sejarah film memiliki keterbatasan teoritik.
Selama ini sejarah film:
  • Terlalu ditekankan pada TV dan film itu sendiri, karena sejarah ini ditulis oleh para kritikus.
  • Film merupakan sesuatu yang sangat kompleks. Selama ini pendekatan sejarah film dilakukan dengan pendekatan yang sulit diadaptasi.
  • Penulisan sejarah tergantung dan hanya menyangkut kenangannya saja, bukan pendekatan sejarah yang benar.
  • Penulisan sejarah dilakukan dengan menggunakan sumber sutradara atau actor tanpa sikap kritis. Pendekatan baru dalam sejarah film menggunakan lebih banyak data, bukan hanya kesaksian actor, sutradara, dll.
  • Pendekatan sejarah film selama ini terlalu kategorik. Pengertian gerakan film dan aliran film tidak membantu banyak dalam penulisan sejarah film. Contohnya, nouvelle vague (new wave: gerakan baru sinema Perancis di tahun 1960-an, dengan Jean Luc-Godard sebagai salah satu eksponennya, pen.). Nouvelle vagueitu gerakan atau hal yang semu semata?
  • Bentuknya stereotip. Penulisan sejarah film biasanya menggunakan biografi klasik (kelahiran, perkembangan, dan kejatuhan). Padahal sejarah tidak harus linear, tidak mengikuti skema Negara. Tujuan film kan dikembangkan untuk seluruh dunia.
Film bersuara keluar pertama kali dari studio Warner Brothers karena kondisi studio itu yang terdesak dan hampir merugi. Wartawan mengembangkan mitos persoalan WB ini. Padahal terlihat bahwa WB memang sengaja melakukan investasi besar-besaran untuk film bersuara ini. Faktanya sekarang WB menjadi konglomerasi media raksasa, bernama AOL-Time Warner.
Tahun 1913-1914 merupakan periode sejarah yang kompleks. Film bisu merupakan early cinema, tapi bukan film primitif. Pengertian primitif dalam film sebenarnya terpengaruh oleh terminologi seni primitif yang mengacu pada seni Afrika. Lalu istilah ini dipakai untuk menyebut film-film Melies. Early cinema digunakan untuk menyebuat sinema awal.
Periode tahun 1902-1908, gambar ditampilkan dalam bentuk lukisan (model Melies). Ini yang disebut model representasi primitive (Noel Bratch). Pengambilan gambar diambil dalam bentuk general shot. Penonton berada di luar frame. Setiap tableu bersifat otonom.
Pada tahun 1918, ada fenomena yang berdampak ganda pada film seni. Dalam salah satu film Melies, ada adegan kejar-mengejar yang menampakkan cirri film comic. Dari sinilah muncul scenario dan munculnya scenario ini didorong oleh munculnya editing film. D.W. Griffith mengembangkan adegan kejar-mengejar ini dari Pathe, sementara ia juga menggunakan gambar telepon dan surat yang silih berganti. Gambar ini beraasl dari film Goumount. Di film Griffith ini mulai terjadi peralihan ruang.
Pada tahun 1978, Federasi Arsip Film mengadakan kongres di Brighton dan mempertontonkan 500 film early cinema. School of Brighton adalah sebuah kolokium historiografi film.  Film-film ini ditemukan oleh sinematek Inggris. Ahli-ahli yang berkonsentrasi pada early cinema ini kira-kira 350-an orang. Dari temuan itu, kita mengetahui bahwa pada tahun 1908 profesi sutradara belum seterhormat sekarang. Hal ini membuktikan bahwa sejarah film harus terus-menerus ditulis.
Bagaimana dengan industri film Indonesia? Topik lama ini sudah dua dekade lamanya menjadi bahan perbincangan kalangan film Indonesia. Film-film Indonesia selama dua dekade ini (1980-an dan 1990-an) terpuruk sangat dalam. Insan film Indonesia seperti tak bisa berkutik menghadapi arus film impor.
Masalah yang dihadapi harus diakui sangatlah kompleks. Mulai dari persoalan dana, SDM, hingga kebijakan pemerintah. Persoalan ini dari tahun ke tahun semakin melebarkan jarak antara film, bioskop dan penonton, tiga komponen yang seharusnya memiliki pemahaman yang sama terhadap sebuah industri film.
Di awal millenium baru ini tampaknya mulai ada gairah baru dalam industri film Indonesia. Karya-karya sineas seperti Garin Nugroho, Riri Reza, Rizal Mantovani, Jose Purnomo dan beberapa sineas lainnya seperti memberikan semangat baru pada industri film Indonesia. Kenyataan ini cukup memberi harapan, karena selain terjadi disaat bersamaan dengan bangkitnya film-film dari dunia ketiga, tak terasa bahwa industri perfilman sesungguhnya sudah seratus tahun dikenal di Indonesia.
Di Indonesia, film pertamakali diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta). Pada masa itu film disebut “Gambar Idoep”. Pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang. Film adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton.
Cerita film pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa Melayu. Cerita film impor ini cukup laku di Indonesia. Jumlah penonton dan bioskop pun meningkat.  daya tarik tontonan baru ini ternyata mengagumkan. Film lokal pertama kali diproduksi pada tahun 1926. Sebuah film cerita yang masih bisu. Karena pada tahun tersebut, di belahan dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai diproduksi.
Film cerita lokal pertama yang berjudul “Loetoeng Kasaroeng” ini diproduksi oleh NV Java Film Company. Film lokal berikutnya adalah “Eulis Atjih” yang diproduksi oleh perusahaan yang sama. Setelah film kedua ini diproduksi, kemudian muncul perusahaan-perusahaan film lainnya seperti Halimun Film Bandung yang membuat Lily van Java dan Central Java Film Coy (Semarang) yang memproduksi Setangan Berlumur Darah.
Industri film lokal sendiri baru bisa membuat film bersuara pada tahun 1931. Film ini diproduksi oleh Tans Film Company bekerjasama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung dengan judul Atma de Vischer. Selama kurun waktu itu (1926-1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskop meningkat dengan pesat. Filmrueve (majalah film pada masa itu) pada tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop.
Untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik mendorong adanya Festival Film Indonesia (FFI) I pada tanggal 30 Maret-5 April 1955, setelah sebelumnya pada 30 Agustus 1954 terbentuk PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia).
Film Jam Malam karya Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik dalam festival ini. Film ini sekaligus terpilih mewakili Indonesia dalam Festival Film Asia II di Singapura. Film ini dianggap karya terbaik Usmar Ismail. Sebuah film yang menyampaikan kritik sosial yang sangat tajam mengenai para bekas pejuang setelah kemerdekaan.
Di tahun ‘80-an, produksi film lokal meningkat. Dari 604 di tahun ‘70-an menjadi 721 judul film. Jumlah aktor dan aktris pun meningkat pesat. Begitu pula penonton yang mendatangi bioskop. Tema-tema komedi, seks, seks horor dan musik mendominasi produksi film di tahun-tahun tsb. Sejumlah film dan bintang film mencatat sukses besar dalam meraih penonton. Warkop dan H. Rhoma Irama adalah dua nama yang selalu ditunggu oleh penonton.

Film Catatan Si Boy dan Lupus bahkan dibuat beberapa kali karena sukses meraih untung dari jumlah penonton yang mencapai rekor tersendiri. Tapi yang paling monumental dalam hal jumlah penonton adalah film Pengkhianatan G-30S/PKI yang penontonnya (meskipun ada campur tangan pemerintah Orde Baru) sebanyak 699.282, masih sangat sulit untuk di tandingi oleh film-film lokal lainnya.
Kalau di awal munculnya bioskop, satu bioskop memiliki beberapa kelas penonton, tahun ‘80-an ini bioskopnya yang menjadi berkelas-kelas.
Cinemascope kemudian lebih dikenal sebagai bioskop 21. Dengan kehadiran bisokop 21, film-film lokal mulai tergeser peredarannya di bioskop-bioskop kecil dan bioskop-bioskop pinggiran. Apalagi dengan tema film yang cenderung monoton dan cenderung dibuat hanya untuk mengejar keuntungan saja, tanpa mempertimbangkan mutu film tersebut.
Hal lain yang juga tak bisa dipungkiri turut berperan dalam terpuruknya film nasional ini adalah impor dan distribusi film yang diserahkan kepada pihak swasta. Bioskop 21 bahkan hanya memutar film-film produksi Hollywood saja, tidak mau memutar film-film lokal. Akibatnya, di akhir tahun ‘80-an, kondisi film nasional semakin parah dengan hadirnya stasiun-stasiun televisi swasta yang menghadirkan film-film impor dan sinema elektronik serta telenovela.
Meski dalam kondisi “sekarat”, beberapa karya seperti Cinta dalam Sepotong Roti, Daun di atas Bantal karya Garin Nugroho mampu memenangkan berbagai penghargaan di festival film internasional. Pertengahan ‘90-an, film-film nasional yang tengah menghadapi krisis ekonomi harus bersaing keras dengan maraknya sinetron di televisi-televisi swasta. Praktis semua aktor dan aktris panggung dan layar lebar beralih ke layar kaca. Apalagi dengan kehadiran Laser Disc, VCD dan DVD yang makin memudahkan masyarakat untuk menikmati film impor.
Namun di sisi lain, kehadiran kamera-kamera digital berdampak positif juga dalam dunia film Indonesia. Mulailah terbangun komunitas film-film independen. Film-film yang dibuat di luar aturan baku yang ada. Film-film mulai diproduksi dengan spirit militan. Meskipun banyak fillm yang kelihatan amatir namun terdapat juga film-film dengan kualitas sinematografi yang baik. Sayangnya film-film independen ini masih belum memiliki jaringan peredaran yang baik. Sehingga film-film ini hanya bisa dilihat secara terbatas dan di ajang festival saja.
Kini, film Indonesia telah mulai berderak kembali. Beberapa film bahkan booming dengan jumlah penonton yang sangat banyak. Sebut saja, Ada apa dengan Cinta, yang membangkitkan kembali industri film Indonesia. Beberapa film lain yang laris manis dan menggiring penonton ke bioskop seperti Petualangan Sherina, Jelangkung, Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi maupun Naga Bonar Jadi 2.
Genre film juga kian variatif, meski tema-tema yang diusung terkadang latah, jika sedang ramai horor, banyak yang mengambil tema horor, begitu juga dengan tema-tema remaja/anak sekolah.

0 Response to "sejarah film di dunia dan indonesia "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel